KERAPU TERIPANG DIUJUNG HARAPAN


Angin malam berhembus kencang menerpa tubuh tegap lelaki laut itu. Perawakannya tidak jauh berbeda dengan nelayan kebanyakan, kulitnya hitam legam dan bersisik, matanya tajam namun nampak lelah. Air mukanya menyiratkan ketabahan sekaligus keputusasaan yang menandakan bahwa pemiliknya telah mendapat sertifikat alam. Sebab kesetiannya mengarungi luasnya samudra dibawah sengat matahari dan dinginnya malam. Rambutnya ikal, gondrong dan kumal, barangkali terlalu sering dihempas angiin laut bercampur keringat yang menggumpal. Sejak mega merah telah menyelimuti dirinya dengan malam, Ia masih duduk di beranda rumahnya yang mengahadap ke laut lepas. Tidak seperti biasanya ia melaut untuk mencari ikan, ia hanya duduk termenung menatap langit. Malam ini purnama merajai laut dengan menyembunyikan ikan-ikan dibalik keanggunannya.  Tak ada yang tahu dimana mereka.

Tapi bukan karena itu, ia tak melaut. Wajahnya yang sendu seakan ingin ungkapkan perasaan yang mengganjal di hatinya. Sampannya yang tertambat di dermaga mengapung pasrah diterjang ombak, mengingatkannya akan ucapan istrinya beberapa hari yang lalu.

“pak, katanya bu guru, tole harus mbayar spp. Udah 3 bulan lho, pak.”

Ah, Tole, gumamnya dalam bisu. Dalam heningny a ia masih mencoba berpikir dengan apa ia bisa membayar tunggakan SPP anaknya. Padahal ia tidak lagi memiliki persediaan beras untuk seminggu ini. Belum lagi bila ia ingat bahwa perahu yang pernah ia miliki kini telah beralih tangan. Hanya sampan kecil yang jadi tumpuan hidup sehari-hari. Tole, anak sulungnya yang kini beranjak remaja, selalu bersikeras untuk ikut melaut dengannya. Tapi Dahuri tahu bahwa tubuh kecil sulungnya masih terlalu ringkih untuk berjudi nyawa dengan alam. Berjudi nyawa demi mendapatkan sesuap nasi.

Tidak ada pilihan bila menjadi nelayan bodoh seperti dirinya. Selalu dianggap yang salah dan tidak mengerti apapun tentang laut. Padahal Ia lahir dan dibesarkan bersama alam yang bernama laut, apakah tidak cukup mengerti tentang induk semangnya? Justru orang-orang berdasi itulah yang tidak tahu siapa dan apa itu alam. Mereka hanya tahu alam itu tambang uang bagi mereka.  Solar yang kian naik seakan menambah beban keluarga yang kian mencekik. Rasanya kekecewaan itu kian bertambah menggerogoti hidupnya. Dalam hidupnya, baru kali ini ia ingin marah pada tuhan. Mengapa ia ditakdirkan menjadi nelayan? Mengapa tidak ia dilahirkan menjadi bagian dari orang yang berdasi itu? Yang setap kali datang ke desanya selalu menaiki mobil berkilat yang hanya sanggup ia pandangi dari kejauhan? Mengapa pula ia hanya menjadi nelayan yang bodoh, miskin dan terhina? Setiap kali ia gagal membahagiakan keluarganya, setiap itu pula ia merasa bahwa ia tengah menanggung derita dari dosa yang belum ia pahami hingga saat ini.

“Pak, sudah malam. Istirahatlah dulu, Pak.” Tiba-tiba saja dari arah dalam rumah istrinya mengingatkan bahwa ia telah cukup lama diluar rumah. Ia hanya membalas dengan desahan panjang di malam yang kian dingin menusuk. Bagaimana bisa ia tidur bila ia teringat akan tanggungan 5 mulut yang kelaparan? Bagaimana bisa ia tidur bila ia ragu apakah ia masih bisa melaut demi mereka? Bagaimana bisa? Ah, malam semakin larut. Tapi malam tak jua melarutkan kemarahan yang mendera kalbunya.

***

Ini hari ketiga Ia sedih setiap kali Tole dan Ina berangkat sekolah dengan hanya berbekal 2 buku tulis kumal dan lusuh karena telah berulang kali digunakan dengan cara menghapus tulisannya dengan penghapus karet murahan. Seandainya saja ia bisa membelikan buku tulis baru untuk mereka, atau seragam putih untuk mereka yang telah berganti warna menjadi kuning akibat kadar garam yang terkandung dalam sumur mereka. Seandainya saja mereka tidak menentang alam.

Ia teringat kembali akan pernyataan tetangganya yang menceritakan perjalanannya di Jakarta. Ia mengatakan bahwa kerapu dan teripang yang terjual disana berasala dari china, jepang, dan india. Coba bayangkan padahal keduanya banyak terdapat di laut desa mereka. Mengapa mereka harus jauh-jauh mendapatkan keduanya bila di negara sendiri ada? Dan parahnya harga keduanya mencapai ongkos perjalanan tetangganya pulang pergi desa- jakarta. Sungguh aneh orang berdasi itu, mengapa mereka tidak memanfaatkan tenaga dirinya dan nelayan lainnya untuk mendapatkan teripang dan kerapu dengan harga yang lebih murah? Dengan begitu ia tidak perlu susah-susah menjual hasil tangkapannya dengan harga dibawah standar bila siang telah menjelang. Dengan begitu ia bisa membelikan sepatu atau tas sekolah untuk kedua anaknya. Dengan begitu ….

Kini ia tidak bisa berbuat apa-apa. Ia  dan komunitasnya semakin tersisihkan, terpinggirkan dan terbodohi. Mungkin tuhan tidak keberatan bila ia menantang alam. Ia tidak punya pilihan lain karena persaingan perut dan kebutuhan yang kian meroket. Ia sering merasa bersalah saat membom laut yang telah membesarkan dan memberinya hidup. Tapi harus bagaimana lagi?

Ia pun beranjak dari beranda untuk masuk ke dalam rumahnya dengan lunglai, berharap masih ada harapan untuk esok hari. Harapan untuk mendapatkan sesuap nasi untuk kelima mulutnya. Semua kejahatan itu dirasa bukan pilihan tapi desakan. Apa yang terjadi lebih karena desakan dari alam yang kian ganas, dan keserakahan orang berdasi padanya untuk berbuat jahat. Dibelainya kepala Tole dengan lembut seraya dibisikannya sebuah kalimat.

“Janganlah engkau menjadi nelayan, le.”

 

Tentang ngakusantri

just nobody who wanna be somebody
Pos ini dipublikasikan di Tak Berkategori. Tandai permalink.

Tinggalkan komentar