MAWAR di HATI LANA


Dalam hidupku, aku hanya mengenal tiga hal. Ibuku dan Mbok Nah adalah hal pertama yang menempati ruang terbesar dalam memoriku. Mereka adalah dua orang yang kerap keluar masuk kamarku menandai hari yang telah berganti, atau sekadar mengingatkan bagaimana hari ini akan kulalui dengan aktifitas yang dapat kau hitung jumlahnya dengan jari-jarimu.
Hal kedua yang menemani sepanjang hidupku tak lain adalah ruangan setinggi 3 meter dengan cat putih. Kamarku tidak pernah tersentuh oleh tangan-tangan perubahan, tidak pula bersentuhan dengan tangan-tangan arsitek atau bahkan desainer interior kelas eksekutif. Cukup hanya tempat tidur spring bed dengan terpal yang mengalasiku tidur, lemari pakaian yang teronggok di pojok kanan kamarku dan meja kecil tempat obat-obatanku berserakan tak keruan. Selebihnya kamarku hanya berisi boneka-boneka yang kurasakan tidak ada gunanya selain menjadikan kamarku terasa semakin sempit dan pengap.
Hanya disekitar dua hal itulah hidupku berputar berjalan dengan sang waktu. Tak pernah ada perubahan kecuali massa yang telah merenggut perlahan diantara keduanya. Oh ya, aku belum menceritakan hal terakhir yang hadir dalam hidupku, walaupun aku tidak tahu apakah ia tetap masuk dalam daftar memoriku yang tak seberapa lantaran seingatku ia hadir dalam kamarku hanya dua kali. Itupun dengan selang waktu yang sangat lama b ahkan tak kuingat lagi kapan terakhir kalinya ia mengunjungiku. Orang ini hadir dengan keangkuhan yang tercermin dimatanya. Aku merasa ada jurang berkilo-kilometer menghadang memisahkan kami. Anehnya ibu bersikeras agar aku memanggilnya dengan sebutan, AYAH!
“Selamat pagi, Lana! Kau bangun cepat hari ini. Lihatlah hari ini cukup cerah untuk berjemur di halaman belakang” Ibu menyambutku dengan wajah tirusnya. Sebelum menghampiriku terlebih dahulu ia menyibak tirai kamar untuk menunjukan bahwa dunia telah bergeliat. Sinar-sinar mentari pun menerobos masuk dari celah tirai yang terbuka menyambutku dan menyapa hatiku dengan kehangatannya. Aku pun menggeliat merenggangkan syaraf-syarafku yang kaku sehabis bangkit dari kesurian.
“Haah….Buuu……nnnddiii….!!!” teriakku membalas sapaannya.
“Lana mau mandi dulu? Sebentar ya, Mbok Nah sedang menyiapkan air panas untuk ayah.” Senyumnya masih menghiasi raut wajahnya. “Tapi sebelum mandi kita olah raga dulu ya saying?” aku pun hanya membalas pertanyaannya dengan anggukan kepala. Dengan sigap ibu pun membantu membangunkanku dan menyibak bed cover yang menyelimutiku. Terlihatlah kakiku yang timpang dengan ukuran diluar normal pada umumnya. Pasung kekal yang menyeretku ke dalam dunia sunyi dan ciptakan jarak dengan pria dingin bernama ayah. Borgol abadi ini pun seakan penghalangku dengan dunia luar yang sekalipun tak pernazh kubayangkan bagaimana bentuk rupanya.
“Lana …, sebentar laggi Lana enggak akan kesepian lagi” Ibu mengawali ceritanya sambil membantu meregangkan kedua kakiku. Aneh! Aku sendiri tidak tahu apa bedanya keramaian dengan rasa kesepian di kamarku ini. Karena bagiku, hanya tiga hal yang memenuhi hidupku selama lebih dari 13 tahun belakangan ini. “Lana akan punya adik! Kalau adik Lana perempuan, ia akan sama cantiknya dengan Lana!” aku senang ibu tersenyum merekah hari ini. Hatiku pun meruah dengan segala rasa tak terbendung dalam relung hatiku yang paling dalam. “Tapi kalo yang lahir laki-laki, ia akan tampan seperti ayah” tidak! Aku tidak ingin adik seperti ayah. Pria dengan tatapan seolah kehadiranku hanya beban baginya. Tidak! Aku tidak ingin ada dua ayah di ruanganku ini!!
“Nndaakk!!!! Naa…. Ndaak wuu… Akiiiii!!!” teriakku dengan berulang kali seraya memukul kasurku dengan kedua tanganku.
“Lana, sayang. Lana enggak boleh begitu. Laki-laki atau perempuan adik Lana pastinya akan tetap sayang pada Lana. Begitu juga dengan ibu.” Aku menatap kedua bola mata ibu. Mencoba untuk masuk ke dalam relung hatinya dan merengkuh segala yang ada dalam dimensinya.
Tiba-tiba saja pintu kamarku terbuka, muncullah wanita paruh baya dengan pakaian yang amat sederhana. Rambutnya tergelung rapi di belakang kepalanya, dan ditangannya telah tersedia pakaian bersih untukku. Aku pun berteriak menyambut kehadirannya. Pikiranku pun teralih secara otomatis. Tak kulihat lagi mawar-mawar di taman hati ibu. Karena bagiku satu-satunya yang dapat memahamiku dalam duniaku hanya Mbok Nah. Hanya dia yang selalu menjadi teman candaku kala ibu sibuk di luar dimensiku dengan segala hiruk pikuk yang tidak pernah kumengerti.
“Wah, waktunya mandi telah tiba! Mbok Nah, titip Lana yach.” Ibu pun segera beranjak dari tempat tidurku. Sebelum ia pergi meninggalkan kamarku, tak lupa ia mengecup dahiku dengan sejuta rasa hangat yang hanya bisa dipahami olehku. Ciuman itu bak air yang disiramkan dengan beribu cinta dan berjuta sayang pada mawar-mawar yang tumbuh di hatiku. Mawar-mawarku telah bersiap untuk mekar pada waktunya.
***
Duniaku masih berputar diantara 3 hal. Ibuku dan Mbok Nah, kamarku, dan tak ketinggalan pria angkuh bermata dingin yang kian hilang dari duniaku. Dimensiku tidak ada yang berubah, selalu mengasyikkan dan kutunggu waktunya. Sebenarnya aku ingin sekali mengajak ibu masuk dalam dimensiku agar dapat kutunjukan mawar-mawarku yang tengah menguncup diatas hamparan rumput hijau. Agar aku dapat berlari di depan mata hatinya yang kini kian meredup. Kian tak tersentuh olehku.
“Mbok Nah, mengapa ibu tidak bisa bermain bersama Lana?” tanyaku disuatu siang yang cerah dalam dimensiku.
“Karena ibu terlalu sibuk dengan urusannya.” Jawanya sembari mengelus pipiku.
“Mengapa terlalu sibuk? Apa yang mereka lakukan?”
“Mereka mengejar apa yang mereka impikan, terlalu banyak untuk disebutkan, Lana.”
“Orang dewasa itu menyebalkan! Mengapa mereka senang dalam hiruk pikuk? Aku tidak ingin menjadi dewasa!!”
“Mereka bukan orang dewasa, Lana. Mereka hanya terperangkap dalam tubuh dewasa yang memaksa mereka untuk menjadi orang dewasa karbitan. Menjadi dewasa itu seharusnya layaknya bungan mawar. Ia tumbuh dari sebuah bibit yang berhasil keluar dari cangkangnya dan muncul dari rasa cinta dan kasih sayang. Ia akan terus berkembang dari tunas yang malu-malu menatap surya hingga menginjak remaja dengan batang yang kokoh dan daun yang elok. Sang mawar pun akan menyadari bahwa ia tidak sendirian. Ia pun segera tahu bahwa ia adalah pusat gravitasi bagi kehidupannya. Oleh sebab itu ia akan mencoba untuk bertahan dari gangguan macam apapun.”
“Tapi, kenapa kita harus menjadi dewasa?”
“hidup menjadi tua itu adalah pasti, Lana. Tapi, untuk menjadi dewasa itu adalah sebuah pilihan.” Jawab Mbok Nah dengan mantap tanpa ada keraguan.
****
Aku terbangun ditengah malam yang panjang dan panas. Entah jam berapa ini, bagiku jam berapa pun tidak ada arti khusus dalam hidupku. Tenggorokkanku rasanya sakit. Aku pun memanggil Mbok Nah di kamarnya melalui bel di sisi tempat tidurku yang sengaja disediakan untuk memudahkanku bila ada sesuatu. Belum sempat kupencet bel, aku mulai menyadari ada keributan yang menandai masih ada aktivitas dalam rumah ini. Sayup-sayup aku mulai mendengar suara ibu yang sengaja ditahannya walau tak berhasil diselingi oleh isak tangis. Hey, ada apa ini?!” aku pun sengaja mempertajam pendengaranku di tengah gelap gulitanya kamarku.
“Kenapa sih mas tega sama Lana?” suara ibu terdengar memelas ketika menyebut namaku, dan disaat itulah sebuah getaran entah dari mana asalnya masuk menelusuri relung hatiku.
“Dia bukan anak yang bisa diharapkan!” suara pria angkuh itu serasa pisau yang menebas kasar mawar-mawar di hatiku.
“Mas, kok ngomongnya gitu?!! Dia kan darah daging mas sendiri!”
“Apa iya? Dalam keluargaku tidak ada sejarah yang menderita penyakitan seperti itu! Apa mungkin itu anak hasil selingkuhanmu dengan teman kantormu? Terus kau mengalihkannya dengan berkata bahwa ia anakku ketika kau mengandung?!”
“Astaghfirullah, mas!!! Demi Allah dia benar-benar anakmu, mas! Dia asli dari benih mu! Dan aku berani bersumpah juga aku tidak pernah selingkuh di belakang, mas!!!”
“Berarti penyakit itu turun dari keluargamu!”
“Mas, ini bukan masalah panyakit dan darimana asalnya!! Ini adalah cobaan dari tuhan, mas! Lana itu titipan, Mas!!”
“Titipan apa?!! Asal kamu tahu saja dia itu bukan cobaan! Dia itu bencana dan kesialan yang menimpa keluarga kita. Dia Cuma bisa bikin malu saja. Sejak lahir sampe sekarang bisanya Cuma bikin repot dan sial saja. Apa yang bisa dilakukannya selain makan dan tidur saja?! Dan itu akan terus berlanjut selama dia masih dirumah ini!!”
“Mas, jaga omongan, Mas!!!”
Rasanya tiba-tiba saja pria angkuh itu telah membuat badai dalam dimensiku. Memporak-porandakan mawar-mawarku yang telah layu sebelum waktunya. Mencabutnya tanpa hulu pandang hingga ke akar-akar yang tertanam di relung hatiku. Tak kuasa lagi aku mendengarnya, kuhempas badanku begitu saja. Hilang sudah keinginan awalku untuk minum. Sama hilangnya semangat dalam hidupku. Tuhan sebenarnya apa salahku? Sehingga kau ciptakan aku sedemikian rupa, aku tidak pernah memohon apapun dengan menggadaikan semua yang kumiliki. Bahkan dari awal pun aku tidak pernah menolak mnerima kenyataan. Tidak pernah kuelakkan pasung abadi yang menempel di tubuhku. Tapi, mengapa kau hancurkan dimesniku? Engkau tidak adil tuhan!! Mengapa semua ketidakberuntungan engkau limpahkan padaku? Kenapa tidak kau matikan aku saja dari dulu, tuhan??! Mengapa kau hancurkan mawar-mawarku, tuhan? Betapa engkau sangat tidak adil!! Aku tidak pernah merasakan hiruk-pikuk dunia luar, tiba-tiba saja aku dicap pembawa sial, mengapa tuhan? Aku pun semakin menyalahkan diriku, sementara di luar sana sayup-sayup masihku dengar bantahan demi bantahan yang sesekali diiringi isak tangis ibu. Masih ku dengar suara pria angkuh itu yang diiringi emosi yang kian memuncak. Masih mengalir linangan pertanyaan yang keluar dari sudut mataku yang terbakar emosi.
Keesokan paginya semangat hidupku hilang tak berbekas. Gairah imajiku menguap begitu saja. Tak ayal lagi Mbok Nah hanya menatap heran ketika dilihatnya bangkai-bangkai mawar berserakan begitu saja, tidak keruan. Aku tidak punya tujuan hidup lagi. Aku pun tidak punya alasan lagi untuk berimaji dengan dimensiku. Aku pun kian terpuruk, kian menyalahkan kehadiranku, kian menyalahkan tuhan yang tidak adil.
Waktu demi waktu berkumpul menjadi satu. Serpihan detik berkumpul menjadi menit. Serpihan jiwaku melayang entah kemana, terbang semakin tak terbekas. Sementara serpihan hari berkumpul menjaadi minggu, serpihan hidupku kian tak berupa. Pertanyaan-pertanyaanku tak ada tanda-tanda akan dijawab oleh tuhan. Mbok nah semakin prihatin setiap kali ia menemaniku dikamar. Tak ada lagi ruang imaji dalam dimensiku. Badanku kian melemah. Ibu sempat khawatir akan keadaanku tanpa tahu apa penyebabnya. Beban yang tersirat dalam wajahnnya semakin kentara akankah ibu menyesali pula akan kehadiranku? Hingga suatu hari saat kondisi kesehatanku berada di titik terendah yang pernah kumiliki, aku kian optimis bila jawaban tuhan atas pertanyaanku adalah kematian.
Sore ini, Dokter Fahmi, dokter keluar kami, berkunjung ke kamarku. Mengechek setiap denyut nadi kehidupanku, mencari tahu apa penyebabnya. Setelah dirasa puas olehnya, ia pun memutuskan untuk keluar dari kamarku yang diikuti oleh ibu. Tinggallah aku dengan mbok nah sendiri dalam ruangan ini.
***
Sementara itu diluar kamar Lana, terlihatlah nyonya dewi bertanya perihak kondisi kesehatan Lana. Tampaknya raut wajah nyonya dewi kian kuyu dan tak terawat. Seperti ingin mengatakan bahwa pemiliknya telah lama terjebak dalam masalah yang berkepanjangan.
“Dok, bagaimana kondisi Lana? Sebenarnya dia sakit apa, Dok?”
“Haahh….. sebenarnya Lana tidak sakit apapun secara fisik.” Nyonya Dewi pun menyerngit tidak mengerti atas jawaban Dokter Fahmi. “Tapi secara psikis dan emosi, Lana telah sekarat. Penyebab utama banyak hal, Bu Dewi. Bisa saja selama ini Lana kesepian, merasa sendiri atau bahkan marah atas kondisinya. Mungkin juga ia butuh lebih dari sekadar teman bicara, saya sarankan Lana anda ajak pergi keluar agar ada suasana baru. Bisa juga Lana disertakan dengan sejumlah kesibukan. Melihat dari kondisi Lana, sepertinya anda terlalu menganggap Lana itu lemah, padahal bisa saja ia dilibatkan dengan kegiatan social masyarakat agar secara psikis bisa seimbang, bu.”
Nyonya Dewi mulai terisak menahan marah pada suaminya. “Maaf saya tidak bermaksud mencampuri urusan rumah tangga anda. Tapi jujur saja saya sudah angkat tangkat mengatasi Lana. Sepertinya saya tidak bisa mengupayakan jalan terbaik lagi untuk Lana. Kalo begitu saya permisi dulu, bila ada perkembangan atau terjadi sesuatu hubungi saya kembali.”
Nyonya Dewi pun hanya terdian menatap kepergian Dokter Fahmi. Tak disadarinya dari tangga ruang tengah Pak Burhan mendengar semua pembcaraan antara Nyonya Dewi dan Dokter Fahmi. Raut wajahnya tersenyum mengembang. Seakan ia telah menemukan solusi untuk memisahkan Lana dengan istrinya.
“Sudah kubilang, sebaiknya anak sial itu kita titipkan ke panti anak cacat dari dulu. Dia disana lebih baik, bukan disini tempatnya.”pria itu semakin angkuh menatap Nyonya Dewi yang hanya bisa menggeram menahan emosinya. “Bukan dunianya dia tinggal disini. Sebaiknya kamu focus saja dengan kehamilanmu. Jangan sampai kau jatuh sakit. Aku tidak ingin anak kedua kita sama nasibnya seperti kakaknya yang tidak berguna”
“Mas, tidakkah mas memiliki rasa sayang dengan darah daging mas sendiri? Kenapa mas begitu benci dengan Lana?”
“Sudah kubilang dari dulu anak cacat seperti itu tidak akan berguna.”
“Apa mas pernah berpikir kalo mas dalam posisi Lana? Apa yang akan mas rasakan kalo orang tua mas dulu melahirkan anak cacat yang bernama Burhan Sugondo yang tak lain mas sendiri? Lalu orang tua mas semuanya tidak peduli akan keadaan mas, lalu apa yang akan mas lakukan? Di dunia ini tidak ada orang tua yang mau mensia-siakan anaknya , Mas! Terbuat dari apakah hati mas sehingga begitu teganya menelantarakan darah daging mas sendiri? Anak yang berasal dari benih mas sendiri?!!!”
Pria angkuh itu hanya diam tak bersuara. Ia seakan terpojok dengan sekain banyak pertanyaan istrinya yang diluar dugaan. Dan tak disadarinya pula ada perasaan yang menusuk ke hati kecilnya yang selama ini membeku terkukungkung oleh rasa egonya. Rasa bersalah mulai merayapi pikiran pria angkuh itu. Ia tak menyadarinya, semakin ia termakan oleh ucapan istrinya, perasaan bersalah itu semakin menusuk menembus jantung nuraninya.
“Bu, Lana pingsan. Suhu tubuhnya naik terus, Bu!” tiba-tiba saja mbok nah memecahkan keheningan yang sempat tercipta diantara suami istri tersebut.
Dengan sigap Nyonya Dewi segera bergegas menaiki tangga. Ia tidak ingin kehilangan Lana. Tidak! Bahkan ia pun belum siap untuk menghadapi kemungkinan terburuk yang akan dihadapinya.
Setiba di kamar Lana, dilihatnya tubuh Lana yang hanya tulang terbungkus kulit itu tergegletak begitu saja tak berdaya. Ia tiba-tiba saja menjadi gugup, bingung apa yang harus ia lakukan. Ia menghampiri tubuh putrinya yang tak berdaya untuk mengetahui kondisi tubuh secara langsung.
“Mbok, cepet di kompres. Airnya diganti dengan yang baru. Tolong obat yang dikasih Dokter Fahmi disiapin. Saya akan menghubungi Dokter Fahmi lagi. Mungkin ia belum terlalu jauh dari sini.”
“Baik, Bu” Mbok Nah pun segera berlalu dari hadapan Nyonya Dewi.
Nyonya Dewi pun segera menuju telepon di ruang tengah. Ia begitu gugup untuk menghadapi situasi itu. Ia terburu-buru melewati tangga ketika menuruninya. Ketika ia mencapai setengah dari tangga yang ia lewati ia sempat melirik suaminya yang masih termanggu diam menatap bingung. Seketika itu pula kebencian terhadap suaminya semakin membuncah. Tak disadarinya ketika ia menoleh kembali ia kehilangan keseimbangan ketika kaki kanannya belum sempurna menginjakkan ke lantai. Tidak bisa dihindari lagi, wanita yang tengah hamil 8 bulan itu jatuh terguling membentur tiap anak tangga yang dilaluinya. Tak ada yang bisa ia hindari setiap hantaman-hantaman yang menyakitkan menerjang perutnya. Pak Burhan yang baru saja menyadarinya tak bisa berbuat apa-apa. Ketika ia berrlari menghampiri istri yang dicintainya itu, semua telah terlambat. Darah telah mengalir ke seluruh tubuh istrinya.
“Mbok!!!!! Mbok cepeet ke sini, Mbok!!!”
Dari arah dapur Mbok Nah yang tengah membawa air panas terkejut melihat majikan wanitanya terbaring tak berdaya. Air yang ia bawa pun jatuuh tanpa ia sadari. Dengan sigap ia pun berlari kearah ruang tengah untuk menelepon ambulan.
***
Siang itu di pemakaman umum yang sunyi. Para tamu yang melayat telah satu-persatu pergi meninggalkan pria yang masih terpekur menyesali segala yang pernah ia lakukan. Ia hanya bisa menatap dua gundukan tanah yang masih basah dengan nisan yang terpasang di masing-masing ujungnya. Menekuri tiap huruf yang terukir pada nisan itu.
KAYLANA DEWI LARASATI BINTI SUKARMAN
BINTI SUGONDO KIRANA BINTI SUGONDO
Lahir 12-05-1995 Lahir 05-02-1979
Wafat 10-09-08 Wafat 10-09-08

Tentang ngakusantri

just nobody who wanna be somebody
Pos ini dipublikasikan di Tak Berkategori dan tag . Tandai permalink.

Tinggalkan komentar